Kampoeng Batik Jetis: Sebuah Kultural Heritage dan Penunjang Ekonomi Masyarakat Sidoarjo

irene
10 min readMay 31, 2020

--

“Sidoarjo kan yang ada lumpurnya itu”

Mungkin kalimat diatas sering kali terdengar apabila mengucapkan kata Sidoarjo kepada masyarakat awam. Semenjak bencana Lumpur Panas Lapindo yang menyerang Sidoarjo pada 2006 silam, semua mata menganggap Sidoarjo adalah sebagai kota lumpur bahkan tidak jarang disandingkan dengan kota mati. Siapa sangka dibalik stigma yang terbangun mengenai kota Sidoarjo, Sidoarjo menjadi salah satu kota yang berpengaruh besar terhadap pendapatan Provinsi Jawa Timur, pasalnya Sidoarjo memiliki sentra industri yang luas dan bergerak dalam berbagai bidang.

Menarik dari sejarahnya, Sidoarjo dahulu merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Jenggala. Kemudian pada masa Hindia Belanda, Sidoarjo tergabung dalam wilayah Karesidenan Surabaya dengan nama Sidokare. Pada 1859 berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda №9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad №6, daerah Karesidenan Surabaya terbagi menjadi dua, yaitu Surabaya dan Sidokare. Sidokare dipimpin oleh R. Notopuro yang bergelar R.T.P. Tjokronegoro. Pada Mei 1859 konotasi Sidokare dianggap kurang baik, oleh sebab itu Sidokare diubah menjadi Sidoarjo (Safira, 2016:1). Sidoarjo sendiri pada masa Hindia Belanda digunakan Pemerintah sebagai pusat industri, utamanya untuk industri gula. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya pabrik gula yang ada di Kecamatan Candi dan Tulangan yang masih aktif beroperasi hingga abad ke-21 ini.

Selain industri gula, industri yang menjadi industri tertua di Sidoarjo adalah industri batik. Industri batik di Sidoarjo terletak di Kampung Jetis yang berada di antara Jalan Gajah Mada dan Diponegoro yang dikenal sebagai kota tua-nya Sidoarjo. Industri batik di Jetis sendiri tidak hanya dikenal sebagai pusat industri tekstil tetapi juga sebagai kultural heritage-nya Sidoarjo. Di sepanjang kota tua Sidoarjo tidak hanya berdiri sentra industri batik, tetapi juga terdapat kampung Arab yang terletak di Kampung Kauman yang tepat bersebelahan dengan Kampung Jetis, serta kawasan Pecinan yang berada di sepanjang Jalan Hang Tuah dan beberapa di Jalan Sisingamangaraja (Kampung Slautan Gg. I).

Potret Gapura Kampoeng Batik Jetis (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Batik sendiri merupakan kain bermotif khas dari Indonesia yang menjadi identitas nasional bahkan telah diakui sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non bendawi (Masterpieces of the Oraland Intangible Cultural Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada 2009 silam di Abu Dhabi, dan sebagai bentuk penghargaan sekaligus perayaan maka setiap tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional (Steelyana, 2012:2). Karena dikenal sebagai budaya nasional, batik memiliki ciri khas yang berbeda dan unik dari tiap daerahnya, salah satunya adalah batik khas Sidoarjo. Batik Jetis sudah ada dan dikembangkan sejak 1675 oleh keturunan Raja Kediri ini memiliki corak dan motif yang unik, yaitu memiliki warna yang mencolok dibandingkan dengan warna dari batik khas Solo dan Yogyakarta. Batik khas Sidoarjo tergolong unik karena merupakan perpaduan antara batik khas pesisiran dan batik asli daerah Sidoarjo, batik Sidoarjo lebih dikenal dengan batik Madura, bukan karena geografis yang berdekatan tetapi awal mula pemasarannya, batik Sidoarjo dipasarkan oleh pedagang Madura yang membeli di pasar kaget Jetis.

Sebelum melangkah jauh berbicara mengenai Batik Sidoarjo dalam sejarah, ada baiknya menilik kembali sejarah batik di Nusantara dikarenakan perilaku batik Indonesia cukup unik, perjalanan sejarahnya konsisten berevolusi dari hanya terbatas pada lingkungan keraton hingga meluas ke kalangan masyarakat umum. Demikian juga dengan fungsinya berevolusi dari hanya sebagai penanda budaya di lingkungan kerajaan (keraton) kemudian berubah menjadi fungsi ekonomis di masyarakat (Kemenperin, 2013:6).

Jejak Historis Batik di Nusantara

Batik merupakan kain yang berusia sangat tua dan tidak ada kejelasan sumber mengenai kapan tepatnya batik ini lahir, batik diasumsikan sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Banyak sekali teori mengenai asal muasal batik, apakah batik merupakan lahir dari kebudayaan asli Nusantara ataukah datang dari Pedagang Arab dan Cina yang berlayar ke Nusantara. J.A. Loeber mengatakan dalam bukunya, Das Batiken eine Blute Indonesischen Kunstlebens, bahwa batik lebih mengarah berasal dari Hindia Belanda, Ia mengatakan bahwa penduduk asli Hindia Belanda menggunakan kain berwarna putih dan mewarnainya dengan warna biru. Selain itu, ditemukan bukti arkeologi lainnya mengenai awal munculnya batik adalah batik dipercaya mulai lahir pada abad ke-13, hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya relief dalam candi yang ada di Jawa, dimana masyarakatnya menggunakan sebuah kain bermotif yang mirip sekali dengan sarung di abad ke-20.

Dalam buku, Arts and Crafts in Indonesia, kata “batik” berasal dari kata amba, yang dalam bahasa Jawa artinya menulis dan kata titik yang artinya dalam bahasa Jawa adalah sedikit. Pada awalnya, batik hanyalah sebuah kain yang diberi motif dengan cara ditulis menggunakan malam (wax) yang kemudian diberi pewarna (dye) atau dalam Bahasa Inggrisnya dikenal dengan wax-resist dyeing. Tapi seiring perkembangan zaman, batik tidak hanya sekedar ditulis, namun juga ada batik yang dibuat dengan cara dicap dan disablon (Ila Keller, 2012:13–14).

Pada zaman kerajaan, tidak sembarangan orang dapat dengan mudah mengenakan batik, hanya dari keluarga keraton dan golongan ningrat-lah yang boleh mengenakan batik. Terutama pada motif-motif tertentu terdapat larangan pengenaan khususnya bagi khalayak umum. Namun setelah Indonesia merdeka, batik sudah berevolusi tidak lagi menjadi budaya keraton tetapi telah menjadi budaya nasional. Bahkan Soekarno selaku Presiden Indonesia membuat proyek batik sebagai pakaian nasional, namun upaya Soekarno menjadikan batik sebagai pakaian nasional dianggap sebagai proses jawanisasi (Lopez y Royo, 2019:10).

Batik sendiri memiliki motif yang sarat akan makna kehidupan bermasyarakat, makna yang ada dalam goretan batik dapat menjadi simbol daerah dan juga memiliki ceritanya sendiri. Motif yang digunakan dalam batik mayoritas adalah alam, yaitu mengenai tumbuh-tumbuhan dan juga hewan. Selain motif yang sarat akan makna, warna yang digunakan dalam pembuatan batik juga memiliki makna tersendiri, warna yang mencolok biasanya menguraikan tentang keberanian dan keceriaan, sedangkan warna yang kalem mengisyaratkan akan keluguan dan keramahan.

Potret Pengrajin Batik Tulis di Jetis, Sidoarjo (Sumber: Instagram @sidoarjogaul)

Dalam sejarahnya, batik juga mengalami pasang surut, terutama yang terjadi pada 2005 silam saat dimana batik diklaim oleh negara lain sebagai warisan budaya mereka. Mungkin memang budaya antara negara-negara yang serumpun tersebut hampir sama, tapi Indonesia sebagai pusat dimana ditemukannya batik tidak ingin kehilangan khasnya. Dampak dari adanya klaim tersebut, pemerintah Indonesia pada saat kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendaftarkan batik menjadi warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non bendawi (Masterpieces of the Oraland Intangible Cultural Heritage of Humanity) ke UNESCO dan UNESCO menyetujuinya pada 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi.

Batik Jetis Dalam Sejarah

Asal mula kerajinan batik di Sidoarjo berawal pada tahun 1675 dimana ada seorang keturunan Raja Kediri yang diidentifikasikan bernama Mulyadi lari ke Sidoarjo untuk menghindari kejaran pemerintah kolonial Belanda (Satrya W. dan Agus T., 2015:483). Dia bertempat tinggal di daerah Kauman, sekarang berada di belakang Matahari Dept. Store. Di Kauman itulah, Mbah Mulyadi memproduksi batik miliknya yang kemudian dipasarkan di pasar kaget yang dikenal dengan pasar Jetis.

Mulyadi mendapatkan julukan mbah oleh masyarakat sekitar karena dikenal atas kebaikan dan merupakan tanda hormat mereka terhadap Mulyadi yang taat beragama. Mulyadi sebenarnya tidak hanya memproduksi batik yang kemudian akan menjadi produk budaya Sidoarjo. Sebenarnya Mulyadi juga menyebarkan agama islam di Sidoarjo. Mulyadi melakukan pendekatan dengan cara mengajak sholat berjama’ah warga sekitar, mengajarkan Al-Qur’an pada masyarakat Kampung Jetis, serta mengajarkan proses membatik (Wulandari, dkk., 2012:4).

Mulyadi merupakan pelopor pembuatan batik di Sidoarjo sekaligus sosok yang sangat religius, hal tersebut dapat dibuktikan dengan beliau mendirikan masjid pada 1674 yang diberi nama Masjid Jami’ Al-Abror. Beliau juga membentuk komunitas jama’ah masjid tersebut yang sekaligus menjadi komunitas pengrajin batik. Ada sebuah motif yang dibuat yang mencerminkan persatuan dan persaudaraan antar pengrajin batik Sidoarjo, yaitu motif gadag yang digambarkan dalam bentuk rangkaian bunga.

Seiring berjalannya waktu, penduduk daerah tersebut semakin ramai dan perdagangan di Pasar Jetis pun menjadi ramai. Banyak pedagang dari luar daerah datang ke Pasar Jetis, termasuk pedagang Madura. Pedagang Madura merupakan konsumen utama dari produksi batik Mbah Mulyadi dan warga sekitar. Batik dari Jetis ini kemudian di pasarkan kembali oleh pedagang Madura, itulah sebabnya batik khas Sidoarjo lebih dikenal dengan batik Madura (Wulandari, dkk., 2012:5).

Potret Pembatik di Jetis, SIdoarjo Pada 1900-an (Sumber: KITLV melalui twitter @infosda)

Batik yang diproduksi di Kampung Jetis ini bertolakbelakang dengan yang umum di Surakarta dan Yogyakarta, batik khas Sidoarjo merupakan akulturasi dari batik khas pesisir dan batik asli Sidoarjo sendiri, dimana warna yang digunakan lebih terang dibanding dengan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Mengingat juga konsumen utama dari kerajinan ini adalah pedagang Madura yang terkenal suka dengan warna yang terang dan mencolok.

Namun siapa sangka dibalik berkembangnya permintaan oleh pedagang Madura, produksi batik Jetis lambat laun mengalami kemerosotan bahkan sempat berhenti produksi dalam kurun waktu yang lama dikarenakan tidak ada generasi penerus yang dapat membuat batik tulis Jetis yang indah.

Hingga pada 1950-an, batik Jetis didirikan kembali oleh wanita bernama Widiarsih, yang lebih dikenal dengan Ny. Wida dan banyak warga Kampung Jetis yang menjadi pegawainya. Usaha batik Jetis Ny. Wida menjadi usaha batik terbesar di Sidoarjo dan merupakan usaha batik tertua di Sidoarjo. Namun, pada tahun 1970-an banyak pegawai dari Ny. Wida memutuskan untuk membuka usaha batiknya sendiri, yang akhirnya menjadikan Kampung Jetis menjadi kampung sentra penghasil batik terbesar di Sidoarjo hingga sekarang. Eksistensi sentra industri batik di Kampung Jetis juga diungkap oleh Uding Budi Santoso yang merupakan penduduk asli Jalan Diponegoro dari tahun 1971 hingga sekarang.

“Jetis itu sudah terkenal sama batiknya dari dulu saya kecil, disitu nggak hanya terkenal sama pasarnya tapi juga banyak toko batik. Dulu ya cuma jual batik, kalo sekarang kan sama jual baju muslim gitu, ya maklum soalnya deket sama kampung Arab terus juga lagi tren baju-baju muslim”, ungkap Uding Budi Santoso.

Potret Mural Batik Pada Tembok Rumah Warga Jetis Sebagai Identitas Kampung Batik (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Karena besarnya produksi batik di Kampung Jetis, pada 2008 pemerintah Sidoarjo bekerja sama dengan Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) dan Guk Yuk Sidoarjo mendirikan Kampoeng Batik Jetis sebagai warisan budaya dan sentra batik terbesar, sekaligus membentuk paguyuban pengrajin batik yang bernama Paguyuban Batik Sidoarjo (PBS) yang berfungsi untuk mengembangkan batik Sidoarjo agar dikenal khalayak ramai dan menjadikan sumber pendapatan utama bagi masyarakat Jetis pada umumnya (Satrya W. dan Agus T., 2015:481).

Potret Ikon Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Batik Jetis Sebagai Penopang Ekonomi Masyarakat

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa pada tahun 2008 pemerintah Sidoarjo bersama dengan Dekranasda dan Guk Yuk Sidoarjo meresmikan sentra industri batik dengan nama Kampoeng Batik Jetis sebagai warisan budaya dan pusat industri batik terbesar di Sidoarjo. Salah satu faktor penyebabnya adalah bencana Lumpur Panas Lapindo pada 2006 silam. Lumpur Lapindo yang meluap di Porong dan Tanggulangin mematikan industri yang berdiri disana dan juga secara tidak langsung menurunkan pendapatan daerah Sidoarjo. Untuk itu, demi menggantikan pendapatan daerah yang jatuh akibat bencana tersebut, pemerintah Sidoarjo berusaha mengoptimalkan industri batik yang berada di tengah kota Sidoarjo tersebut.

Potret Proses Pembuatan Batik di Kampoeng Batik Jetis (Sumber: Instagram @szabila)

Bersamaan dengan diresmikannya Kampoeng Batik Jetis, pemerintah juga membentuk paguyuban pengrajin batik yang bernama Paguyuban Batik Sidoarjo (PBS) yang berfungsi untuk mengembangkan batik Sidoarjo agar dikenal khalayak ramai dan menjadikan sumber pendapatan utama bagi masyarakat Jetis pada umumnya. Stimulus yang diberikan pemerintah Sidoarjo guna mendukung berkembangnya industri batik di Jetis ini adalah dengan memberikan workshop berupa pelatihan dan pameran kepada pengrajin batik. Pemberian workshop kepada pengrajin batik ini dibenarkan oleh kawan penulis yang sekaligus anak dari pengrajin batik di Jetis bernama Karina. Karina membenarkan bahwa ayahnya, Zainal kerap kali mendapatkan workshop berupa pelatihan dan pameran baik diadakan di Sidoarjo ataupun di luar kota.

Upaya lain yang dimunculkan pemerintah Sidoarjo dalam mengembangkan batik adalah dengan mematenkan motif batik asli Sidoarjo, agar kekhasan dari batik Sidoarjo terjaga dan tidak dijiplak oleh pengrajin batik di wilayah lain. Contoh motif batik yang dipatenkan adalah motif Sekardangan dan Cipretan (Shanastra N. dan Sayatman, 2019:84).

Dengan berdirinya Kampoeng Batik Jetis menjadi peluang usaha bisnis tekstil di kalangan masyarakat Sidoarjo, khususnya Jetis. Selain itu, industri batik ini menarik pekerja juga. Dengan kata lain, industri batik di Jetis ini menciptakan peluang kerja bagi masyarakat sekitar.

Pada tahun 2013, Batik Sidoarjo berhasil mencapai pasar internasional. Hasil karya kerajinan batik warga Jetis sudah diekspor menuju Singapura, Jepang, Belanda, dan Eropa Barat. Batik kini telah menjadi salah satu komoditas utama yang diperdagangkan oleh masyarakat Sidoarjo dan menjadi sumber pendapatan daerah. Tidak heran, batik khas Sidoarjo telah menjadi cenderamata favorit disamping kerupuk, bandeng, dan petis. Kepopuleran batik asli Sidoarjo nampaknya bisa disandingkan dengan batik asal Madura ataupun batik-batik dari Surakarta dan Yogyakarta.

Dari perjalanan Kampoeng Batik Jetis dapat disimpulkan bahwa sebuah kultural heritage tidak hanya menjadi ikon dan simbol sebuah kota tetapi juga mampu menjadi penolong perekonomian masyarakat. Terlebih lagi dalam kasus Kampoeng Batik Jetis yang mana posisi industri batik ini menjadi potensi baru pasca tertutupnya potensi industri tas dan sepatu yang berada di Tanggulangin pasca bencana Lumpur Lapindo.

Referensi:

Elliott, 2010, Batik: Fabled Cloth of Java, Vermont: Tuttle Publishing.

Keller, I., 1966, Batik: The Art and Craft, Tokyo: Charles E. Tuttle Co. Inc.

Kementrian Perindustrian, 2013, KINA: Karya Indonesia, Jakarta: Pusat Komunikasi Publik Kementrian Perindustrian.

Loeber, J.A., 1926, Das Batiken eine Blute Indonesischen Kunstlebens, Oldenburg: Gerhard Stalling Verlag.

Nautica, S. dan Sayatman, 2019, “Perancangan Motif Batik dari Potensi Daerah Kabupaten Sidoarjo sebagai Cara Melestarikan dan Memperkaya Motif Batik Sidoarjo”, Jurnal Sains dan Seni ITS vol. 8 no. 1, hlm. 84–89.

Royo, A.L.Y., 2019, Contemporary Indonesian Fashion Through The Looking Glass, London: Bloomsbury.

Safira, N. I., 2016, “Di Balik Nama Sidoarjo”, Artikel Ilmiah, Sidoarjo: Universitas Nahdlatul Ulama.

Steelyana, E., 2012, “Batik, A Beautiful Cultural Heritage That Preserve Culture and Support Economic Development in Indonesia”, Artikel Ilmiah, Jakarta: Binus University.

W., Rizky Satrya dan Agus Trilaksana, 2015, “Sejarah Industrialisasi Batik di Kampung Batik Jetis Sidoarjo Tahun 1970–2013”, AVATARA vol. 3 no. 3, hlm. 480–486.

Wulandari, S. E., dkk, 2012, “Perkembangan Motif Batik Jetis Sidoarjo dalam Tinjauan Sejarah”, Artikel Ilmiah, Sidoarjo: STKIP PGRI.

Narasumber:

Uding Budi Santoso, Penduduk Jalan Diponegoro tahun 1971 - sekarang, wawancara pada 30 Mei 2020 oleh Irene Ferliana Putri.

--

--

irene
irene

No responses yet