Androgynous Fashion di Surabaya Dalam 3 Dekade (1970–1998)

irene
8 min readApr 14, 2021

--

Secara historis, perkembangan fesyen androgini dimulai pada awal abad ke-20. Meskipun secara konsep, istilah androgini baru banyak digunakan ketika Sandra L. Bem melakukan penelitian mengenai konsep gender pada 1970-an. Kemunculan gaya androgini ditandai dengan banyak kalangan yang mulai menerima celana panjang sebagai bagian dari pakaian wanita pasca Perang Dunia I atau pada tahun 1919 dan pada awal 1940-an ketika wanita banyak yang berpartisipasi dalam perang dan bekerja jauh dari rumah sehingga wanita memperoleh kebebasan lebih daripada sebelumnya dan beberapa dari mereka menggunakan celana yang maskulin, kemeja, dan jaket sebagai pakaian sehari-hari (Reynolds, 2010:16–17). Selain itu, adanya sebuah revolusi dalam gaya berpakaian laki-laki pasca Perang Dunia II juga menandai kemunculan gaya androgini, revolusi tersebut dikenal dengan peacock revolution. Hadirnya revolusi ini mengubah pandangan terhadap gaya berpakaian pria, pasca adanya peacock revolution lahir sebuah fesyen baru pada pria yang lebih feminin dan juga dijumpai pakaian dengan berwarna cerah pada fesyen pria (Fred Davis, 1994:34).

Gaya androgini semakin terpenetrasi dalam kehidupan masyarakat dunia terlebih ketika terjadinya sebuah gerakan sosial yang menggunakan fesyen sebagai alat perlawanan, sebut saja hippie movement di Amerika Serikat dan punk movement di Inggris. Hippie dengan propaganda flower power-nya melahirkan gaya busana yang lebih bebas, dimana tidak lagi dibatasi antara maskulinitas dan femininitas. Gaya berpakaian bunga-bunga menjadi variasi baru yang lahir, selain itu menggunakan celana panjang agak longgar menjadi salah satu ciri gaya hippies. Berbeda halnya dengan hippie, kehadiran punk tentunya membentuk konstruksi baru terhadap fesyen, gaya fesyen punk identik dengan menggunakan atribut, seperti menggunakan boots, menggunakan aksesoris dari bahan logam, celana jeans yang ketat dan robek, serta gaya rambut mowhak dan spike (al Ramadhan, 2016:55).

Eksistensi fesyen androgini di Indonesia terlihat pada masa Orde Baru, dimana dalam periode ini masyarakat Indonesia banyak terinspirasi dan mengadopsi budaya Barat. Fesyen atau mode merupakan satu dari unsur budaya yang geraknya begitu dinamis dan cepat sekali mengalami perubahan. Kecepatan dunia fesyen dalam meng-update gaya baru disebabkan oleh berbagai hal, seperti: adanya rasa bosan suatu individu dengan gaya yang digunakan, hingga adanya inovasi dalam dunia fesyen. Hal-hal seperti itu yang pada akhirnya membuat banyaknya variasi tren dalam dunia fesyen, bahkan dalam sebuah periode waktu tidak hanya satu jenis fesyen yang digemari oleh masyarakat. Pada masa Orde Baru sendiri, tidak hanya satu jenis gaya yang populer di masyarakat. Sebut saja pakaian serba mini dan backless, hingga androgini. Jika tren mini dan backless dapat dipahami sebagai gaya pakaian yang menggunakan bahan seminimal mungkin dan menampilkan bentuk tubuh seperti punggung, kaki, dan tangan, dimana gaya ini diasosiasikan dengan fesyen wanita (A.Y. Sunaryo, 2016:68–88). Sedangkan definisi yang paten mengenai model dari androgynous fashion ini tidak ada. Tetapi oleh Fred Davis diasumsikan androgini adalah wanita yang mengenakan celana, berambut pendek, no make up, dan memiliki tato, lain halnya dengan pria menggunakan pakaian berwarna cerah dan soft, ear-piercing, dan berambut panjang (Fred Davis, 1994:34).

Androgynous Fashion di Surabaya 1970–1979

Pemerintah Orde Baru sangat berjasa terhadap perkembangan fesyen di Indonesia. Pasalnya, pasca pemerintah membuka kembali akses westernisasi, fesyen Barat banyak menjadi inspirasi dan diadopsi oleh masyarakat, termasuk gaya androgini. Jika pada masa sebelumnya, mode atau fesyen yang dikenakan oleh individu harus sesuai dengan aturan konstruk gender, dimana wanita harus feminin dan pria harus maskulin. Di tahun 1970-an ini tidak lagi berdasar pada aturan itu, hal ini ditandai dengan adanya women liberations yang lahir karena keinginan wanita untuk terbebas dari kefemininan dan bergaya lebih maskulin. Fesyen yang lahir dari adanya gerakan tersebut adalah jas dengan bagian bahu diberi pengisi agar terlihat lebih lebar dan gagah, jaket, dan rompi. Dengan bahan yang digunakan adalah jeans ataupun kain dengan tekstur yang agak kasar dan kaku (Umma, 2016:20).

Fesyen yang tidak mengindahkan konstruk gender tampaknya juga ditemui pada pria. Gaya rambut panjang atau gondrong menjadi hair-style paling populer pada periode 1970-an. Gaya rambut gondrong ini menjadi populer disebabkan oleh banyaknya idola yang gondrong sehingga diimitasi oleh penggemarnya, salah satunya adalah idola dari grup band rock, God Bless, pada suatu konsernya yang diselenggarakan di Surabaya pada tahun 1974, disitu terlihat bahwa banyak dari penonton konsernya yang berambut gondrong. Selain itu, populernya gaya rambut gondrong juga disebabkan karena masuknya gerakan hippie di Indonesia. Berdasarkan reportase dari Ekspres, pada awalnya anak-anak muda di Indonesia hanya sebatas mengimitasi gaya busana, tetapi lambat laun anak-anak muda membabat habis budaya hippies hingga menggondrongkan rambut, berdandan eksentrik (Ekspres, 1971).

Konser Band God Bless di Surabaya Tahun 1974, dalam Arsip Koleksi Tempo (twitter: @potretlawas)

Besarnya pengaruh fesyen Barat juga mengubah paradigma celana dalam dunia fesyen di Indonesia. Celana tidak lagi diasosiasikan sebagai fesyen pria, tetapi juga wanita. Jenis celana yang banyak digemari oleh pemuda adalah celana jeans maupun celana kain dengan potongan cutbray atau melebar di bagian bawahnya.

“Jangan salah, tahun 70an itu sudah modern. Cewek pakai celana itu sudah biasa, apalagi yang potongan bawahnya lebar. Sudah gayanya dulu itu pakai celana cutbray buat jalan-jalan.”

Menggunakan celana bukan lagi hal yang taboo untuk wanita di tahun 1970-an ini, Erni juga menambahkan bahwa dalam dekade 70-an menjadi masa peralihan dari penggunaan pakaian tradisional menuju pakaian lebih modern yang banyak dipengaruhi oleh budaya Barat.

Penggunaan Celana Cutbray Dalam Kehidupan Sehari-hari, Arsip Pribadi Milik Erni circa 1977
Penggunaan Celana Cutbray Dalam Kunjungan Lapangan Mahasiswa Universitas Surabaya di Tawang Mangu, dalam Inventaris Arsip Online Universitas Surabaya (arsip.ubaya.ac.id) circa 1970-an

Selain terkait dengan kepopuleran celana dalam fesyen tahun 70-an, Erni juga mengungkapkan bahwa dalam fesyen pria juga mengalami perubahan, yaitu penggunaan atasan dengan warna yang terang.

“Dulu itu kalo gondrong ya sudah gayanya. Bajunya dimasukkan, terus kancingnya dibuka, warna bajunya juga terang-terang.”

Dari penuturan Erni tersebut dapat membuktikan bahwa pengaruh dari peacock revolution yang terjadi pasca Perang Dunia II juga terpenetrasi dalam fesyen di Indonesia, khususnya di Surabaya sendiri. Menggunakan atasan atau kemeja berwarna cerah telah menjadi bagian dari tren berbusana.

Androgynous Fashion di Surabaya 1980–1989

Apabila dekade 70-an dianggap sebagai masa peralihan dari penggunaan fesyen tradisional menuju yang lebih modern, dekade 80-an menjadi masa jaya dunia fesyen. Kejayaan fesyen pada dekade ini tidak bisa terlepas dari semakin banyaknya media penyalur fesyen yang hadir di tengah masyarakat, penyalur tersebut seperti: majalah, koran, serta shopping mall. Di Surabaya sendiri, pembukaan mall modern pertama dengan nama Tunjungan Plaza pada tahun 1985. Sebelum diresmikannya Tunjungan Plaza, pusat belanja seperti Siola, Metro, dan Wijaya menjadi hot place bagi pemuda. Pusat belanja yang berkembang di Surabaya pada dekade 80-an telah berkiblat pada fesyen Barat. Hal ini sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Fera Estuning Sinatri:

“Sebelum ada TP dulu sudah ada Siola, Metro, Wijaya untuk tempat belanja baju. Semua fesyen yang dijual sudah berkiblat ke Barat.”

Pusat belanja atau shopping mall memang memainkan peran penting dalam konsumsi fesyen pemuda Surabaya pada dekade ini, pengaruh Barat semakin terpenetrasi jauh dalam kehidupan.

Pada dekade 70-an gaya androgini pada wanita dimulai dengan adanya gerakan women liberations, sedangkan pada dekade ini berganti pada era powerful women. Powerful women ditandai dengan berkembangnya model pakaian blazer ber-shoulder pad yang besar dengan bawahan celana panjang yang trendy. Model pakaian ini banyak digunakan oleh wanita-wanita yang bekerja pada sektor formal, oleh karenanya wanita pekerja ini dianggap sosok yang “powerful” (Umma, 2016:28). Blazer yang berkembang juga terbagi menjadi dua jenis, yang mirip dengan jas pria ataupun yang merupakan hasil re-modelling dari jas pria sehingga tampak feminin.

Tidak hanya blazer dengan shoulder pad yang tinggi, pada dekade ini juga berkembang gaya kemeja berwarna cerah dan motif yang terkesan feminin pada pakaian pria. Pakaian dengan warna cerah sudah menjadi lazim untuk dikenakan oleh pria, penggunaan pakaian dengan warna cerah menunjukkan bahwa dalam diri seorang pria ada pribadi yang lembut atau soft. Hal ini juga disampaikan oleh Fera Estuning Sinatri bahwasanya tidak banyak berubah dalam fesyen pria, hanya saja pakaian berwarna cerah menjadi salah satu bentuk gaya androgini yang populer disamping rambut gondrong.

Foto Angkatan ’82 Prodi Jepang IKIP Surabaya, dalam blog prodi Jepang UNESA (unesaprodijepang.wordpress.com) circa 1982

Gaya androgini yang semakin banyak dikonsumsi oleh pemuda ini pada akhirnya melahirkan sebuah gaya baru, yaitu fashion unisex, dimana pada fesyen ini suatu item atau busana dapat dikenakan baik oleh pria maupun wanita. Gaya unisex ini mulai berkembang pada pertengahan dekade 80-an. Fashion items yang banyak dipakai sebagai bentuk dari gaya ini adalah celana jeans, kemeja motif utamanya motif kotak, dan sepatu docmart (Fera Estuning, 2020). Kemeja dengan motif kotak-kotak pada awalnya menjadi bagian dari fashion item dari pria, tetapi pada periode ini wanita juga lazim mengenakan pakaian ini.

Penggunaan Fashion Unisex, Arsip Pribadi Milik Nisfullailli circa 1985

Androgynous Fashion di Surabaya 1990–1998

Pada hakikatnya, gaya androgini yang berkembang pada dekade ini merupakan pengembangan dan melanjutkan dari dekade sebelumnya. Tidak banyak yang berubah dari gaya pada dekade sebelumnya, tetapi pada dekade ini blazer dengan shoulder pad yang tinggi dan kokoh tidak lagi menjadi item favorit. Gaya yang berkembang pada dekade ini lebih santai dan kasual dengan memadukan kaos dan celana jeans.

Gaya Santai dan Kasual tahun 90an, Arsip Pribadi Milik Sylvi Mutiara Rachmarini circa 1990

Selain gaya yang lebih kasual, pada dekade ini pemuda banyak melakukan mix and match, sehingga pakaian semakin variatif. Variasi mix and match dalam fesyen ini terlihat pada munculnya gaya perpaduan menggunakan celana cutbray dengan atasan kaos bodyfit, serta melahirkan fesyen semi formal dengan menggunakan blazer atau kemeja dan bawahan jeans dengan ikat pinggang yang besar. Begitupun gaya rambut, pada dekade 90-an gaya rambut yang terkenal adalah gaya rambut pendek (bob) dan juga dibiarkan tergerai.

Perpaduan Cutbray dan Bodyfit, Majalah Kawanku 21 September 1997

Sedang dalam fesyen pria lagi-lagi tidak banyak terjadi perubahan, rambut gondrong masih menjadi gaya yang populer, dimana salah seorang pria yang berada pada barisan depan dalam foto masih mempertahankan rambut panjang. Terlebih lagi pada dekade ini banyak bermunculan grup musik, seperti: Slank, Dewa 19, Gigi dimana diawal kemunculannya para personil atau anggota grup tersebut banyak yang berambut panjang.

Gaya Fashion Mahasiswa FK UNAIR Tahun 90an, Arsip Pribadi Milik Feby Yudha Herlambang circa 1990an

Kemunculan grup musik beraliran rock ini kemudian menciptakan sebuah gaya baru yang dikenal dengan gaya grunge, yang identik dengan cuek dan cenderung berantakan (messy), tetapi nyaman. Fashion items yang wajib dalam gaya ini adalah kemeja berbahan flanel yang dipakai dengan celana jeans. Meskipun banyak pengikut gaya grunge adalah pria, tetapi tidak menutup kemungkinan jika wanita juga menggemarinya.

--

--

irene
irene

No responses yet